Senin, 20 Februari 2012

Janji Sakura


Kututup mata,kucoba rasakan angin yang berhembus di padang rumput ini. Sudah kebiasaan sejak kecil, sepulang sekolah, sambil menenteng peralatan gambar, aku sesegera mungkin menuju padang rumput ini, lalu duduk di bawah pohon Sakura. Tujuanku memang  hanya 1, bertemu bunga, angin, rumput, sungai, awan , dan pepohonan, khususnya pohon Sakura ini. Mereka semua..., teman-temanku.
Aku tak punya teman? kau salah besar bila berpikiran sempit seperti itu. Aku punya banyak teman di sekolah, hanya tidak akrab saja. Aku memang suka menyendiri, dan tidak terlalu suka keramaian. Dimata teman-temanku, aku sosok yang pendiam, selalu menghabisakan waktu istirahatku dengan menggambar, mereka pikir aku punya dunia sendiri yang tidak bisa ditembus, mereka pikir aku orang yang tertutup.
Aku... Sebenarnya aku hanya takut, aku malu untuk mengungkapakan apa yang aku pikirkan. Aku juga tidak pandai dalam memilih kata. Setiap akan mengucapkan sesuatu, kata-kata itu seakan berhenti di mulutku, di ujung lidahku, lidahku jadi terasa kelu tak mampu bergerak. Aku takut, salah memilih kata dan kalimat, aku juga takut bila perkataanku menyakitkan hati, atau tidak menarik. Karena itu,aku lebih memilih diam, lalu mulai menggambar apa yang aku inginkan, impianku, sesuatu yang harusnya aku lakukan tadi.
Hanya bunga,angin,pohon,rumput,dan awan yang selalu mengerti aku.Mereka mengerti, mendengar , dan merasakan apa yang aku rasakan, setiap kata yang aku ucapkan.
“Angin, aku sedih, nilaiku turun.”
“Pohon Sakura, hari ini aku ulangtahun, aku senang sekali.”
“Teman-teman aku menggambar kalian semua, bagus tidak? Kalian suka? “
Walaupun aku hanya berkata lirih, mereka selalu mendengar, selalu menjawab, lewat hembusan angin, daun-daun yang bergemerisik, sampai bunga yang bergerak seperti  mengangguk-angguk. Jawaban mereka, suara-suara yang mereka hasilkan, semua itu seperti melodi terindah yang pernah kudengar.


***

Seperti biasanya, setengah berlari  aku menuju tempat biasa, padang rumput, di bawah pohon Sakura favoritku. Aku mulai curhat seperti biasanya.
“Teman-teman,aku sedih,aku kesepian.” kataku
Lalu,angin berhembus, kulanjutkan pertanyaanku
“Aku tau,kalian teman-teman terbaikku, tapi aku ingin punya teman yang lain, maksudku seorang  teman, kalian tau maksudku kan? Bolehkah?”
Lalu, daun daun bergemerisik. Aku tersenyum.
“Terimakasih teman-teman, semoga keinginanku ini terkabul .”
Aku mulai menggoreskan kertasku dengan pensil, kugambar suatu seketsa, ada potret diriku di situ, tengah tersenyum, menyambut uluran tangan seseorang, seorang teman. Kutempelkan gambarku di dadaku. Kututup mata, berharap agar gambarku menjadi kenyataan.
“Tuhan, tolonglah, aku ingin seorang teman, yang mau berbagi, mengerti aku, dan menerimaku apa adanya, tolong kabulkanlah permintaanku.” ucapku lirih.
Tiba-tiba.
“Hai, kau sedang apa? Siapa namamu?”
Aku terkejut, segera kubuka mataku, ada seseorang di hadapanku, tengah berlutut dan ... mengulurkan tangannya.

***

“Hai,kau sedang apa? Siapa namamu?” ,mendengar kata itu, aku kaget setengah mati, yang pertama terfikirkan “Siapa dia?” . Dia, ya... dia yang sedang berlutut sambil mengulurkan tangan. Aku mengerjapkan mataku untuk ke sekian kalinya, untuk meyakinkan. Ternyata di asli, maksudku dia bukan khayalanku semata. Apakah keinginanku terkabul sebegitu cepatnya?,  lalu aku berfikir sesuatu yang mustahil, Apakah dia gambarku yang menjadi kenyataan?
Segera aku sadar dari lamunanku. Kutatap wajahnya, lalu kutatap tangannya, aku harus menjabat tangannya dan tersenyum, setidaknya aku harus melakukan hal yang sama seperti pada gambar, aku harus mewujudkan impianku walaupun hanya sekali, dan sekaranglah saatnya. Dengan takut-takut, kusambut uluran tangannya dan tersenyum. Tapi, celaka, aku langsung tersadar, karena aku memaksakan diriku untuk tersenyum di tengah rasa bingungku, sepertinya aku tak tampak tersenyum, tapi lebih seperti menyeringai.
Orang itu menatapku, menatap diriku yang keadaannya seperti orang yang pikirannya sedang kosong sambil memegang erat sketsa lukisan, kulihat-lihat raut wajahnya juga melukiskan ekspresi yang tak kalah bingung denganku. Kami sama-sama bingung. Tak disangka, di melirik gambarku, dia tertawa kecil dan berkata
“Kau terkejut? Kau pikir aku gambarmu yang jadi kenyataan ? Kamu lucu sekali, tapi anggap saja begitu,anggap saja aku keajaiban” dia kembali terkekeh
Aku tak bisa berkata-kata,kenapa dia tau? Aku ingin berkata sesuatu, tapi tidak bisa, detik ini rasanya otakku lumpuh seketika. Ingin kujawab pertanyaannya sambil tersenyum, tapi mengingat kejadian tadi, aku mengurungkan niatku, dan hanya mengangguk.
“Oh ya,perkenalkan namaku Toshiaki, Yoshida Toshiaki, siapa namamu?”
Ayo, katakan sesuatu, perintah otakku
“A... Ayaka, Yamachi Ayaka” kataku tergagap
“Ayaka? namamu bagus, sama seperti gambarmu itu” kata Toshiaki yang tersenyum tulus
Deg,jantungku serasa berhenti  sebentar,baru kali ini ada yang memuji gambarku dengan tulus,selain ayah ibuku. Padahal, dia baru pertama kali melihat gambarku. Rasanya senang sekali saat ada seseorang yang memujimu, menurutku seakan ada beribu-ribu kupu-kupu beterbangan di perutku. Setelah mendengarnya, tak lupa aku mengucapkan terimakasihku yang tak kalah tulusnya. Saat itu aku merasa ada yang berbeda di dalam dirinya. Secara tak sadar aku telah memberikan nilai plus pada sosok Toshiaki-kun. Lalu di dalam hati aku berkata
“Teman-teman,aku sudah menemukan ‘seorang’ yang berbeda , dan semoga aku bisa menjadi temannya, begitu juga sebaliknya”

***

Sejak pertemuan pertamaku dengan Toshiaki-kun, hidupku jadi berbeda. Aku kagum dengan Toshiaki, dia dapat dengan mudah bergaul dengan semua orang, dan semua orang suka padanya. Karena itu juga, dialah yang mengajariku sesuatu yang aku inginkan dari dulu, sesuatu yang dengan mudah dia lakukan, dan sulit sekali untuk aku lakukan. Dia mengajakku untuk bersosialisasi dan bergaul dengan semua orang.
“Mulailah dengan menyapa mereka,jangan malu untuk melakukannya duluan.” ucapnya.
Kalimat itu selalu terngiang di telingaku. Setelah dia mengucapkannya, aku mulai mencoba untuk menyapa semua orang, awalnya reaksi semua temanku sama, semua seragam, mereka bingung dan terkejut. Pada awalnya memang sulit sekali untuk sekedar mengucapkan “Selamat pagi” atau “Hai” karena aku tidak biasa, dan aku semakin malu karena melihat reaksi semua temanku yang terkejut, tapi lama kelamaan, seiring berjalannya waktu aku mulai terbiasa untuk menyapa, ternyata menyapa itu mudah. Bahkan disamping menyapa, dengan beberapa orang aku sudah mampu berbincang-bincang sedikit. Toshiaki memang orang paling baik. Terimakasih Toshiaki-kun.
Toshiaki-kun memang berbeda, dia seperti teman-temanku. Di dalam dirinya ada angin, awan, sungai, rumput, pohon, bunga, semuanya. Dia selalu tenang,  selalu menyejukkan dan menghiburku, seorang pendengar dan pembicara yang baik. Dan, yang paling aku suka dari Toshiaki-kun, dia tak pernah tertawa, mencemooh, ataupun menginterupsi ceritaku, bahkan saat aku bercerita tentang teman-temanku, awan, bunga, pohon, rumput, dan teman-temanku yang lainnya, yang munkin sebagian orang menganggapnya membosankan. Tapi berbeda sengan sebagian orang, Toshiaki-kun malah dengan seksama mendengarkan, sesekali mengangguk dan berkata “Lalu” atau “Terus bagaimana?”.  Aku suka melihat matanya saat ia mendengarkan ceritaku, matanya bersinar, seolah tertarik dengan ceritaku dan secara tak langsung mengesankan bahwa ceritaku ini menarik untuk didengar.  Karena dia, aku bisa merasakan bagaimana rasanya didengarkan oleh orang lain. Tuhan, ternyata seperti ini rasanyan diperhatikan,dan didengarkan oleh orang lain. Rasanya bahagia sekali. Terimakasih Toshiaki-kun.
Yoshida Toshiaki, dia perpaduan sempurna dari segalanya. Walaupun manusia tidak ada yang sempurna , setidaknya dimataku dia sempurna, dia mendapat skor 90 dari 100, karena 100 hanya untuk Tuhan.  Aku dapat bergaul, merasa diperhatikan, dan merasakan segalanya yang dulu tak dapat aku rasakan, semua itu berkat Toshiaki-kun.  Kuberikan terimakasihku yang paling tulus untuk Toshiaki. Tuhan, tolong sampaikan terimakasihku yang paling tulus ini untuk Toshiaki.

***

Siang ini, pertama kalinya aku menemui teman-temanku di bulan ini. Akhir-akhir ini aku jarang menemui mereka. Karena sekarang aku sudah kelas 9. Minggu kemarin aku menempuh ujian semester 1, itupun rasanya sibuuk sekali. Rasanya hari-hariku hanya belajar melulu, bosan sekali. Akhirnya hari ini aku bisa istirahat sejenak dan menemui teman-temanku.
Kulirik jam tanganku, sudah pukul 03.00? Toshiaki belum datang? Tumben sekali,  lama juga dia terlambat, pasti ada tambahan pelajaran di kelasnya, pikirku. Sudahlah daripada aku berpikir yang tidak-tidak, lebih baik aku melepas rinduku pada semua alam yang indah ini, teman-temanku, terutama Pohon Sakura ini, yang selalu melindungiku dari teriknya sinar mentari.
Saat aku mendongak, menatap awan-awan yang bergerak di langit sore yang seakan terbakar, terdengar suara langkah kaki, Toshiaki-kun pikirku, seraya menoleh ke asal suara itu. Dari kejauhan kulihat Toshiaki-kun berjalan ke arahku, masih mengenakan seragam dan membawa tas sekolah, wajahnya menampakkan guratan lelah dan... kesedihan?, Kenapa dia? Apa sebegitu lelahnya dia  akhir-akhir ini? Kenapa dia tampak sedih? Apakah banyak tugas? Banyak ulangan? Atau ada masalah lain? pikirku. Semua pertanyaan tentang Toshiaki-kun berputar-putar di kepalaku.
Bruk, dia meletakkan tasnya lalu berbaring di sampingku, tak lamaa kemudian dia duduk.
“Ah, lelah sekali hari ini, sudah lama menunggu, Aya-chan?” tanya Toshiaki , hanya Toshiaki-kun yang memanggilku dengan nama Aya-chan, biasanya orang-orang memanggilku Ayaka-chan atau Ayaka, berbeda dengan Toshiaki-kun, dia lebih suka memanggilku Aya-chan, dan aku suka itu.
“Hmm, cukup lama, tapi tidak apa-apa kok, kenapa terlambat?” aku balik bertanya.
“Terimakasih sudah nunggu. Maaf ya, tadi aku ada pelajaran tambahan, mendadak lagi.” jawabnya sambil tersenyum dan sedikit tertawa.
Bingo, betul tebakanku tadi, tapi sayangnya aku tau, tawa Toshiaki-kun tadi sesungguhnya dipaksakan, aku tau itu.
“Sudah makan?”  tanyanya tiba-tiba.
Aku menggeleng.
“Nih, katanya sambil menyodorkan rotinya yang sudah dibagi 2.
“Makasih,Toshiaki.”  jawabku, dia tersenyum dan berkata
“Akhir-akhir ini lelah sekali ya, Aya-chan, kau juga merasakannya kan? rasanya banyak sekali beban hidupku.”
Beban? Apa bebanmu? Sebegitu banyakkah masalahmu? Kenapa kau tak ceritakan ke aku?. Ingin rasanya kulontarkan semua pertanyaan itu padamu Toshiaki-kun, tapi aku ragu, Toshiaki-kun juga butuh privasi. Aku juga tidak memaksa bila dia tidak mau cerita. Jadi, seperti kebiasaanku dulu, aku memilih diam dan mengangguk kecil.

***

“Aku pulang.”  teriakku.
“Ibu,kakak sudah pulang.”  terdengar teriakan adikku yang lantang itu, memekakkan telinga.
“Oh sudah pulang,makan malam sudah siap.” kata ibu.
Aku bergegas ke dapur.
“Ibu sudah pulang? tidak biasanya, pekerjaan ibu cepat selesai hari ini?” tanyaku.
“Iya Ayaka-chan, hari ini brita yang ibu edit hanya sedikit, jadi bisa pulang cepat.” kata ibu.
Ibuku seorang wanita karir, beliau seorang wartawan di sebuah perusahaan penerbitan yang cukup kondang di kotaku ini, Kyoto. Ibuku bekerja di bagian editing, tapi terkadang juga menjadi reporter. Pemandangan aneh bila menjumpai ibu pada sore hari, apalagi pukul 06.00, seperti hari ini. Di hari biasa, ibu pulang bersama ayah, terkadang malah ayah lebih terlambat pulang.
“Ayah hari ini ada rapatkan?”  tanyaku.
“Ya, mungkin ayah pulang kurang lebih pukul 9 malam.” jawab ibu.
Benarkan, ayah selalu terlambat pulang.
“Oh, ibu, aku langsung ke atas ya, mau istirahat, capek, selamat malam ibu” ucapku sambil lalu
“Nggak makan dulu?” tanya ibu.
“Tidak, sudah kenyang bu, kalau mau Hiroshi-kun bisa makan jatahku.”  jawabku sambil menoleh.
Kudengar adikku, Hiroshi bersorak, dia memang suka makan, tapi tidak gemuk-gemuk, aku iri dengannya.
“Yasudah, selamat tidur, jangan lupa kerjakan PR, belajar juga, ibu mau menemani Hiroshi-kun makan dulu.” kata ibu.
“Oke, bu. Selamat malam.” ucapku sambil melangkah menaiki anak tangga dengan malas.
Sebenrnya aku lumayan lapar, lebih tepatnya perutku yang lapar, apalagi hari ini ibu yang memasak, tapi, karena tidak mood, aku jadi malas untuk memasukkan makanan ke dalam mulutku yang juga sedang malas mengunyah ini. Lebih baik aku istirahat saja di kamar saja.
Aku duduk, dan memandangi meja belajarku, sambil menarik selembar kertas. Beberapa menit berlalu, aku masih bingung ingin menggambar apa, sulit sekali rasanya.
“Kalau kamu bingung untuk menggambar, coba tuliskan apa yang kamu rasakan.”
Kata-kata Toshiaki terlintas di pikiranku. Betul juga perkataannya, maka aku mencoba menulis, menulis sepucuk surat.
Untuk Yoshida Toshiaki

Toshiaki-kun, sedang apa kamu sekarang?  Maaf tadi aku hanya bisa diam, aku tak mampu untuk berkata-kata. Maaf, aku memang tidak pantas untuk jadi temanmu, apalagi sahabatmu, tapi aku selalu berharap begitu.
Toshiaki-kun, sebenarnya banyak yang ingin aku tanyakan padamu hari ini , tapi aku ragu untuk mengatakannya. Aku takut kamu marah, aku takut kamu berpikir aku suka ikut campur dan mengurusi urusan orang lain. Aku tau, kamu orang yang kuat, kamu tidak mau membuat orang lain khawatir, tapi, sesekali kau boleh cerita apa yang kamu rasakan. Kalau kau mau, aku siap mendengarkan keluh kesahmu, ceritamu, khususny ceritamu yang sedih. Aku akan mendengarkan ceritamu, seperti yang kamu lakukan padaku tiap harinya.

Orang yang ingin menjadi
temanmu dan sahabatmu

        Yamachi Ayaka

Kulipat surat singkat yang tak pernah sampai itu, kumasukkan surat itu ke dalam sebuah kotak khusus. Sekarang surat itu sudah bersama surat-surat yang tak pernah sampai lainnya.

***

Toshiaki-kun berubah, memang, dia tetap perhatian, masih menjadi pendengar yang baik dan pembicara yang baik saat kami berdua berbincang-bincang di bawah Pohon Sakura di padang rumput. Hanya saja, nilainya dimataku menurun  jadi 85, ada yang hilang dari Toshiaki-kun. Sekarang dia tidak seceria dulu, terkadang dia termenung sejenak, memikirkan sesuatu. Raut wajahnya juga tidak secerah dulu. Aku tau,dia bukan sakit secara fisik, tapi menurutku dia sakit karena sedih, atau karena alasan lain yang aku tidak tau. “Rasanya banyak sekali beban hidupku”  kata itu, aku masih ingat saat Toshiaki mengatakannya, tapi hingga saat ini aku masih tidak tau beban hidupnya, teman macam apa aku ini.
Setiap hari, entah mengapa, Toshiaki selalu melihat kalender atau bertanya “Aya-chan, sekarang tanggal berapa ya?” . Aku bingung mengapa dia selalu bertanya soal tanggal berapa hari ini, seakan-akan Toshiaki dikejar waktu. Mungkin saja dia hanya menghitung berapa hari lagi kita menempuh ujian kelulusan,semoga saja dia hanya berpikir begitu,semoga saja...

***

“Toshiaki-kun, maaf aku terlambat, suda lama menunggu?”  teriakku semangat sambil melambai dan berlari ke arah Toshiaki.
Kami memang berjanji untuk bertemu di bawah pohon Sakura kesayangan kami. Sekarang tanggal 3 April, sebenarnya bunga Sakura sudah mulai bermekaran mulai akhir bulan Maret lalu. Pohon Sakura tempatku dan Toshiaki menghabiskan waktu juga sudah berubah warna menjadi putih, sekarang pohon sakura kami tampak seperti tertutup salju. Pohon Sakura kami memang berbeda, bunganya tidak berwarna merah muda, melainkan warna putih.
Perasaanku hari ini juga sama dengan semua pohon Sakura di Jepang, mekar. Aku senang sekali bisa bertemu denga Toshiaki seperti dulu. Kami sudah melewati ujian kelulusan, 2 hari lagi upacara kelulusan, karena itu, kuharap Toshiaki sudah kembali ceria seperti dulu, Toshiaki yang bernilai 90. Aku juga tak sabar menghadiri upacara kelulusanku, pasti sangat berkesan, pikirku.
“Maaf Toshiaki, aku terlambat, tadi ada rapat mendadak untuk panitia upacara kelulusan.” kataku, sambil terengah-engah ,karena sehabis berlari sangking bahagianya.
“Pelan-pelan Aya-chan, tidak usah berlari, aku menunggu juga tidak terlalu lama kok.” Katanya.
“Hhe,aku terlalu bahagia Toshiaki,aku bahagia bisa bertemu kamu di bawah pohon Sakura ini lagi.” ucapku antusias.
Toshiaki tersenyum, lalu hening. Aku ingin bertemu Toshiaki bukan hanya karena rindu, tapi aku ingin bertanya tentang dirinya, yang tidak pernah diceritakannya kepadaku. Aku harus menanyakannya sekarang, sebelum aku menyesal nantinya. Yak, sekaranglah saatnya, ayo buka mulutmu Ayaka, perintah otakku.
“Aku ingin ngomong sesuatu sama kamu.” aku kaget, ada yang membarengi perkataanku, Toshiaki mengatakan hal yang sama denganku.
“Kamu duluan Aya-chan” kata Toshiaki, bersikap gentle seperti biasa.
“Aku mau tanya, tapi jangan marah ya, janji lo.” kataku sambil mengacungkan jari kelingkingku.
“Janji”  jawab Toshiaki tanpa ragu, sambil mengaitkan jari kelingking kami, janji jari kelingking.
“Aku mau tanya, apa yang dulu kamu maksud beban saat semester  1 dulu, saat kamu terlambat pulang karena ada tambahan pelajaran itu, dan mengapa sejak saat itu kamu selalu terlihat murung dan bertanya tentang ‘tanggal berapa sekarang?’ setiap harinya padaku?” tanyaku tanpa cela.
Toshiko terdiam, menutup mata, lalu membuka mata sambil berkata.
“Soal itu, pertama-tama aku mau minta maaf dulu sama kamu, aku mau menceritakan yang sejujurnya sama kkamu, Aya-chan.”
Aku mengangguk, tapi aku mulai merasakan perasaan tidak enak.
“Sebenarnya aku berbohong padamu saat itu, aku terlambat bukan karena ada pelajaran tambahan, tapi karena sepulang sekolah, aku bertemu ayahku yang baru tiba dari Tokyo, dia mengajakku ke sebuah restoran dan berkata sehari setelah kelulusan aku harus pindah ke Tokyo, bersama ibu dan kakakku. Saat itu aku sangat kecewa dan marah, berita itu terlalu tiba-tiba untukku. Lalu aku langsung pergi meninggalkan ayahku dan pergi menemuimu, jadi aku masih memakai seragam sekolah saat itu. Maaf, aku tidak memberitahumu yang sebenarnya, aku tidak mau membuatmu sedih.”
Tak terasa airmataku menetes,sekarang aku sudah tau semuanya, walaupun sakit, tapi aku gembira, ternyata alasan mengapa Toshiaki selalu menanyakan tanggal karena dia tidak mau hari kelulusan cepat datang, semakin cepat juga waktu yang dia lewatkan di Kyoto, dan semakin cepat pula dia menjumpai Tokyo. Ingin rasanya aku menahan Toshiaki agar tidak pergi, tapi menurutku itu pikiran yang sangat egois. Sekarang upacara kelulusan yang aku tunggu-tunggu berubah menjadi hari yang enggan aku temui, bahkan aku harap upacara kelulusan tidak pernah ada, ingin rasanya tanggal 6 April tidak pernah ada, jadi Toshiko tidak akan pernah bisa pergi.
“Terimakasih Toshiaki, kamu sudah jujur, termimakasih atas semuanya, kamu sudah merubah hidupku, terimakasih untuk candamu, perhatianmu, dan semua yang pernah kamu kasih ke aku, Terimakasih Toshiaki-kun.” ucapku terbata-bata, suaraku juga sudah mulai sengau karena menangis.
“Maaf Aya-chan, aku sudah membuatmu menangis, aku janji suatu hari aku kesini lagi, tanggal 3 April, tapi nggak tau taun berapa, yang penting aku ke sini lagi, hhe, kamu mau kan nunggu aku?, nanti kita bisa cerita seperti dulu lagi, oke? Janji?” kata Toshiaki menunjukkan jari kelingking seperti aku tadi, mengajak janji jari kelingking.
“Oke, aku janji, tapi beneran lo.” kataku setengah bercanda, walaupun terdengar aneh, dan tak lupa aku mengaitkan kelingkingku. Aku tau Toshiaki selalu serius dengan janjinya.
“Janji, aku Yoshida Toshaiki berjanji akan kembali ke Kyoto untuk menemui sahabatku, Yamachi Ayaka, suatu hari nanti tepatnya tanggal 3 April. Apakah kamu percaya padaku Yamachi Ayaka?” kata Toshiaki mengulang janjinya.
“Ya, saya Yamachi Ayaka, percaya dengan janji yang dikatakan Yoshida Toshiaki” jawabku.
Akhirnya kami tertawa bersama, di bawah pohon Sakura kami.
Pohon Sakura tolong jaga janji Toshiaki ya,ucapku dalam hati.

***


10 Tahun kemudian...
Indah rasanya mengingat masa-masa indahku bersama sahabatku, Yoshida Toshiaki, di bawah pohon Sakura kami. Sekarang aku berumur 25 tahun, kuhitung sejak janji kami dulu, berarti sudah 10 tahun, sudah 10 tahun juga, setiap tanggal 3 April aku menunggu di bawah pohon Sakura kami untuk berharap bertemu dengan Toshiaki-kun.  Aku selalu menepati janjiku, bagaimana denganmu Toshiaki-kun? mengapa kamu tidak datang-datang ? batinku. Tapi hari ini berbeda, tanggal 3 April ini aku membawa kertas gambar, aku akan menggambar diriku bertemu Toshiaki,aku harap dia bisa muncul seperti kali pertama kami bertemu. Kututup mataku, kutempelkan gambarku di dada, lalu berteriak ”Toshiaki, aku rindu padamu,  apa kamu masih ingat dengan janjimu? Aku sudah menunggu selama 10 tahun, kalau kamu tidak muncul sekarang, setiap tanggal 3 April, aku tidak akan menunggumu lagi”. Tiba-tiba, ada suara yang sudah sangat familier di telingaku, suara itu mengatakan “sedang apa kamu? Kenapa kamu teriak-teriak? Kamu meragukan janji Toshiaki?” . Secepatnya aku membuka mata, sosok yang aku tunggu selama 10 tahun sekarang ada dihadapanku, Yoshida Toshiaki. Tak dikomando aku langsung menangis, sambil memandang Toshiaki.
“Aku menepati janjiku kan?” katanya.
“Memang, tapi lama sekali.” Kataku.
“Jadi,kamu mau aku kembali ke Tokyo lagi?” canda Toshiki.
“Tentu saja tidak, sudahlah yang penting kamu sudah datang, Terimakasih Toshiaki.” kataku .
Kami tertawa di bawah pohon Sakura kami, bercerita satu sama lain, tanpa jeda, aku sangat merindukan saat-saat seperti ini, saat aku bersama Toshiaki di pohon Sakura kami, bercerita sambil memandangi bunga sakura yang gugur. Tuhan, terimakasih telah mengabulkan permohonanku.
Pohon Sakura, terimakasih ya, telah menjaga janji Toshiaki-kun.


2 komentar:

Lucky Charms Rainbow